Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Pendidikan

Pendidikan Gratis Pasca-Putusan MK: Dana Ada, Political Will Jadi Sorotan Akademisi 

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Yunan Helmy

15 - Sep - 2025, 17:00

Placeholder
Seminar nasional bertajuk “Formulasi Pendidikan Gratis Tingkat Sekolah Menengah Pasca Putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024: Peluang dan Strategi Menuju Indonesia Emas 2045” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB). (Anggara Sudiongko/MalangTimes)

JATIMTIMES - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pendidikan gratis di tingkat sekolah menengah sejatinya membuka jalan baru bagi keadilan akses pendidikan di Indonesia. Namun, hampir setahun berlalu, pelaksanaannya belum tampak jelas. 

Diskusi serius soal itu pun mengemuka dalam seminar nasional bertajuk “Formulasi Pendidikan Gratis Tingkat Sekolah Menengah Pasca-Putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024: Peluang dan Strategi Menuju Indonesia Emas 2045” di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Senin, (15/9/2025).

Baca Juga : DKP sebut 390 Desa/Kelurahan di Kabupaten Malang Berstatus Tahan Pangan

Seminar ini mempertemukan akademisi, praktisi, serta pemantau pendidikan untuk mengurai benang kusut implementasi putusan MK. Di balik antusiasme forum, ada satu isu yang terus mengemuka: political will pemerintah. Bukan soal ketersediaan dana, bukan pula soal dasar hukum, melainkan seberapa serius pemerintah eksekutif mau menjalankan mandat konstitusi.

1

Dekan FH UB Dr Aan Eko Widiarto SH MHum menekankan bahwa putusan MK harus dibaca sebagai jaminan konstitusional. Hak atas pendidikan, katanya, tidak boleh dipilah antara siswa negeri dan swasta.

Namun, ia menilai arah kebijakan pemerintah justru belum menyentuh substansi. “Mahkamah Konstitusi ini kan cabang kekuasaan yudisial. Yang bisa menjalankan putusannya adalah cabang kekuasaan eksekutif. Persoalannya, apakah ada political will untuk melaksanakan dengan baik?” ucap Aan.

Ia bahkan menyoroti inkonsistensi prioritas pemerintah yang lebih menonjolkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) daripada pendidikan gratis itu sendiri. “Ini agak bertolak belakang. Pendidikan gratis seolah ditempatkan di kursi belakang,” lanjutnya.

Ketiadaan regulasi turunan juga dia soroti sebagai bukti lemahnya komitmen. Hingga kini, belum ada satu pun aturan pelaksana yang bisa menjadi pegangan. Padahal tanpa itu, putusan MK hanya akan berhenti sebagai teks hukum tanpa daya.

Menurut Aan, akibat nyata dari kelambatan ini tampak dalam jurang yang makin lebar antara sekolah negeri dan swasta. “Ada yang sangat mahal, bahkan hampir sama dengan biaya program doktor. Ada juga yang sangat minim hingga kualitasnya terpengaruh. Itu diskriminasi yang nyata,” jelasnya.

Lebih keras lagi, kritik datang dari Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Ia menolak mentah-mentah alasan keterbatasan fiskal yang kerap dijadikan alasan pemerintah.

“APBN kita tidak hanya cukup, tapi lebih. APBD kita juga lebih. Pertanyaannya, ada political will enggak dari pemerintah pusat dan daerah?” kata Ubaid lantang.

Ia lalu merinci sumber dana yang sudah tersedia: 20 persen dari APBN, 20 persen dari APBD provinsi, dan 20 persen dari APBD kabupaten/kota. Jika ketiganya digabung, jumlahnya lebih dari cukup untuk membiayai pendidikan gratis bagi seluruh anak usia sekolah di Indonesia.

“Jadi, sebenarnya tidak ada kata tidak cukup. Cuma mau apa tidak. Seharusnya tidak ada alasan lagi ada anak yang tidak sekolah,” tegasnya.

Baca Juga : Viral Spot Bulan Gunung Bromo, Ini Rute dari Jemplang Punya Pemandangan Ciamik

Ubaid juga menyinggung target implementasi. Menurut JPPI, kebijakan pendidikan gratis ini semestinya sudah berjalan penuh pada 2026. Ia menawarkan model  pemerintah daerah menghitung jumlah anak usia sekolah dan memastikan jumlah bangku sesuai kebutuhan, termasuk dengan mendanai sekolah swasta.

“Dengan begitu, tidak ada lagi masuk sekolah seperti kompetisi. Pendidikan itu barang publik. Jadi, prinsipnya, no one left behind,” tambahnya.

Namun, ia juga tak segan mengkritik program alternatif seperti Sekolah Rakyat yang dinilainya jauh dari memadai. “Secara nasional, anak tidak sekolah itu sekitar 3,9 juta. Daya tampung Sekolah Rakyat menurut hitungan kami hanya 0,03 persen. Apa artinya itu?” ujarnya retoris.

Ketua panitia seminar M. Akbar Nursasmita menjelaskan bahwa forum ini digagas untuk merespons tafsir baru MK terhadap Pasal 34 Undang-Undang Sisdiknas. Putusan tersebut menegaskan peran negara bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga swasta.

“Pendidikan adalah isu krusial di tengah biayanya yang makin mahal. Negara tidak bisa membiarkan sekolah swasta berjalan sendiri,” ujarnya.

Akbar menekankan bahwa pendidikan sejatinya harus dipahami sebagai hak mendasar setiap warga negara, bukan dianggap sebagai bentuk kemurahan hati pemerintah. Ia juga menilai penting bagi masyarakat untuk memiliki keberanian menagih dan memperjuangkan hak tersebut agar negara benar-benar menjalankan kewajibannya dalam menyediakan akses pendidikan yang layak bagi semua.

 


Topik

Pendidikan Pendidikan pendidikan gratis putusan MK FH UB



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Kalimantan Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

Yunan Helmy